Politik Bagaikan Panggung Drama
- apayanews
- Jul 8, 2019
- 2 min read

Faiz Iqbal Maulid / 01716143718
Pemilu 2019 adalah salah satu pesta demokrasi terpenting dalam sejarah bangsa kita. Begitu penting, sampai hawa politiknya sudah terasa sejak awal tahun 2018. Berbagai tagar di media sosial pun bermunculan, mulai dari yang bersifat tribalis seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi, sampai dengan yang bersifat universal seperti #2019PilpresCeria dan #2019tetapbersaudara.
Selain kemunculan berbagai tagar, muncul juga berbagai peristiwa politik menjelang Pemilu 2019. Mayoritas tokoh politik kita terangsang oleh hawa menjelang Pemilu untuk melakukan berbagai langkah politik. Banyak yang bersifat positif memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Namun, banyak juga yang bersifat sebaliknya.
Bagaimanakah langkah politik yang sebaliknya tersebut? Langkah politik tersebut adalah langkah politik yang bersifat negatif dan tidak memberikan teladan berpolitik yang benar bagi masyarakat. Contohnya adalah penciptaan kabar bohong atau hoaks, mengangkat unsur SARA dalam berpolitik, dan lain sebagainya.
Akhir-akhir ini, bentuk langkah politik yang kedua lebih sering muncul dibandingkan langkah politik yang pertama. Hal ini sungguh memprihatinkan dan mencoreng martabat bangsa kita.
Salah satu contohnya adalah pemberitaan bohong (hoax) yang diciptakan oleh Ratna Sarumpaet, aktivis HAM dan perempuan Indonesia, sekaligus juru bicara kampanye nasional Prabowo-Sandi. Sebagian besar pembaca pasti sudah mengetahui jalan cerita peristiwa ini. Seluruh media terkemuka Indonesia membuat peristiwa ini jadi headline mereka.
Dari pengakuan awal dan foto wajah yang viral, pernyataan berbagai tokoh politik yang simpatik terhadap beliau, kecurigaan yang mulai muncul dari berbagai kalangan terhadap kejanggalan kronologi peristiwa yang beliau alami, hingga klarifikasi akhir Ratna Sarumpaet sendiri. "Kali ini, saya pencipta hoax terbaik ternyata," ungkap beliau penuh penyesalan.
Kebohongan yang terlanjur meluas ini meracuni ranah perpolitikan kita.
Sebagian infrastruktur politik kita ikut tertelan kabar bohong tersebut. Buktinya, banyak tokoh politik kita menyatakan simpati, bahkan membela Ratna Sarumpaet. Mereka ikut menyebarkan informasi tentang peristiwa tersebut di media sosial masing-masing, baik melalui gambar, pernyataan, dan tulisan.
Dengan percaya diri, para politisi tersebut dan organisasi politik yang membelakanginya terus menyatakan bahwa peristiwa itu benar adanya. Confidence ini tetap menyala, sampai Ratna Sarumpaet sendiri mengakui bahwa peristiwa tersebut adalah berita bohong. Ketika hal tersebut terungkap, maka mereka terjerembab pada vicious cycle of dishonesty.
"Kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan yang lain," itulah yang kira-kira terjadi.
Likuifaksi politik ini berawal dari sebuah kabar bohong yang melanggar prinsip kejujuran dalam berdemokrasi. Pelanggaran prinsip ini menelan dan menjebak infrastruktur politik yang terlibat pada sebuah siklus yang berbahaya.
Akhirnya, dunia politik Indonesia menjadi rusak. Tentu kita tidak ingin dunia politik Indonesia hancur karena likuifaksi politik. Maka, bagaimana cara untuk mencegah hal tersebut? Hanya ada satu cara untuk melakukannya. Kita harus memperkuat kembali penerapan nilai-nilai dasar kepemimpinan dalam jagat perpolitikan kita. Berikut adalah nilai-nilai tersebut
Kedua belas nilai tersebut harus diterapkan secara bersamaan. Sehingga, kita memiliki sebuah landasan berpolitik yang kuat bagi pembangunan bangsa kita. Akhirnya, drama menjelang pemilu seperti ini tidak lagi membawa kita menuju likuifaksi politik. Justru, drama-drama tersebut menjadi sebuah bagian dari dinamika politik yang sehat, yang akan memperkuat pembangunan politik bangsa kita di masa depan. (Faiz)
Comments