Dua Sisi Pembatasan Media Sosial
- apayanews
- May 26, 2019
- 4 min read
Updated: Jul 8, 2019

(FAIZ)
Tiga hari setelah pembatasan akses ke media sosial, belum ada tanda-tanda pemerintah bakal mencabutnya. Sebagian pengguna media sosial meradang. Apalagi tak sedikit yang mencari nafkah darinya. Namun di sisi lain, banyak pula yang menyetujui karena lautan hasutan yang memenuhi media sosial.
Tami (24), warga Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY dibuat jengkel sesaat setelah bangun dari tidurnya, Rabu (22/5/2019). Pesan yang dikirimnya melalui Whatsapp, tak kunjung terkirim. Begitu pula akun Instagram-nya, hanya menunjukkan kabar yang sama sekalipun dia sudah berusaha berulang kali memuat ulang.
Pedagang pakaian online ini semakin kesal karena dia harus segera menerima bukti transfer uang dari temannya melalui Whatsapp. Sebab jika tidak, temannya akan berpikir dia tidak merespon sama sekali.
”Akhirnya saya di telfon lewat seluler, jelaskan kondisinya, dan syukurlah teman saya bisa mengerti,” tuturnya.
Kekesalan tami pun luluh saat mengetahui media sosial tak bisa diaksesnya karena keputusan pembatasan dari pemerintah.
”Saya setuju banget dengan langkah pemerintah. Jadi memutus peredaran hoaks dan provokasi di media sosial,” katanya.
Selain Tami, Nisa Kusuma (23), warga Yogyakarta, ikut terdampak pembatasan tersebut. Apalagi sejak 2015, dia memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk bersosialisasi, tetapi sekaligus memasarkan gelang kulit yang dibuatnya.
Melalui Instagram, dia biasa mengunggah Instagram Story guna memasarkan gelangnya. Setiap kali unggahan, ada sekitar 5.000 pengguna Instagram yang melihatnya. Dari jumlah itu, dia bisa memperoleh setidaknya lima pembeli setiap hari, dengan nilai transaksi sekitar satu juta rupiah. Namun setelah pembatasan, yang melihat produknya tidak sampai 100 orang. ”Dan tidak ada yang beli,” keluhnya.
Tak hanya itu, administrator akun menjadi sulit berkomunikasi dengan calon pembeli melalui Instagram. Biaya mengenalkan produk di Instagram oleh influencer yang telah dibayarkannya pun berpotensi terbuang percuma.
”(Akses media sosial) harus dibuka lagi. Duit bisa melayang. Memang sampai sekarang belum menurun banget, tetapi kalau terlalu lama dampaknya besar,” katanya.
Data Kerugian & Potensi kerugian
Berdasarkan riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada 2019, transaksi perdagangan elektronik per tahun diperkirakan 8,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 126 triliun. Maka per hari, mencapai Rp 345 miliar.
Sementara data riset Ideas pada 2017, sebanyak 66 persen transaksi jual beli secara daring terjadi di media sosial. Jika angka itu masih sama dengan nilai transaksi di 2019, potensi kerugian akibat pembatasan media sosial bisa mencapai Rp 277 miliar setiap hari. Tiga hari pembatasan sudah berjalan, maka potensi kerugian bisa Rp 700 miliar.
”Jadi bisa dilihat, dampak pembatasan media sosial itu sangat sentral terhadap aktivitas bisnis daring. Terlebih saat ini merupakan momen peningkatan penjualan karena mendekati Lebaran,” kata peneliti Indef, Bhima Yudistira.
Efek Pembatasan
Seperti dua sisi mata uang, efek dari pembatasan media sosial oleh pemerintah sejak Rabu (22/5/2019).
Di satu sisi, maraknya kabar bohong, ujaran kebencian, dan hasutan menjelang penetapan rekapitulasi suara Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), 21 Mei 2019, hingga saat kericuhan pecah di sejumlah lokasi di DKI Jakarta menyikapi penetapan tersebut, tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan tingkat literasi media sosial di Indonesia yang masih rendah, hal-hal itu bisa membuat situasi semakin runyam. Bisa lebih banyak masyarakat terpancing emosinya dan membuat kericuhan meluas meski emosi itu didasarkan pada kabar bohong atau ajakan menyesatkan dengan narasi yang seakan-akan benar.
Setelah pemerintah membatasi, kabar bohong hingga hasutan di media sosial bisa diredam. Bersamaan dengan itu, aparat keamanan berhasil memulihkan situasi. Alhasil kericuhan lebih besar yang dikhawatirkan bisa dicegah.
Namun di sisi lain, masyarakat yang biasa menggunakan media sosial untuk kegiatan-kegiatan positif ikut terdampak. Komunikasi dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi menjadi terhambat. Aktivitas bisnis terguncang. Akses masyarakat memperoleh hiburan dari media sosial juga terusik.
Polemik
Melihat hal itu, masyarakat sipil tetap keberatan dengan kebijakan pembatasan media sosial oleh pemerintah.
Ini salah satunya disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara.
Menurut dia, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan, setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu, jika merujuk pada Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, negara berwenang membatasi hak asasi manusia jika negara dalam keadaan darurat.
Kemudian di Komentar Umum Nomor 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar yang harus dipenuhi untuk dapat membatasi HAM.
Pertama, situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Kedua, presiden harus menetapkan secara resmi bahwa negara berada dalam keadaan darurat melalui keputusan presiden. Hal lain, pembatasan bisa dilakukan negara dalam kondisi yang tak termasuk darurat dengan syarat tindakan itu seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi, yaitu Jaksa Agung.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan ikut bersuara menolak pembatasan tersebut.
”Kami menyadari langkah pembatasan pemerintah ini ditujukan untuk mencegah meluasnya informasi yang salah demi melindungi kepentingan umum. Namun, kami menilai langkah pembatasan ini juga menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang benar,” katanya.
Di negara lain, tindakan pemerintah pada media sosial saat dihadapkan pada ancaman konflik justru lebih ekstrem.
Pemerintah Sri Lanka, misalnya, menutup akses untuk Facebook, Whatsapp, Youtube, Instagram, Snapchat, dan Viber sejak 21 hingga 30 April 2019, atau setelah serangan teroris.
India juga sempat menutup selama kerusuhan yang terjadi di wilayah Punjab, Haryana, dan Chandigarh, pada 2014. Kemudian di Turki, pemerintah memutuskan menutup setelah penangkapan dua pemimpin partai oposisi, pada November 2016.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta maaf dan turut prihatin atas ekses negatif dari pembatasan media sosial. ”Namun, yang kita jaga itu eksistensi NKRI,” katanya.
Dia pun menegaskan kebijakan pemerintah bukan kebijakan yang inkonstitusional. Pemerintah berpijak pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu menyebutkan, pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Kedua, memanajemen konten dan pembatasan-pembatasan. Pemerintah wajib melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum.
Kemudian, pemerintah diwajibkan mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi dan dokumen elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pemerintah berwenang membatasi akses ke media sosial.
Hingga kapan pembatasan diterapkan? Rudiantara belum bisa memastikannya. ”Kalau sudah kondusif, kita akan buka dan fungsikan kembali fitur-fiturnya,” katanya.
Namun, menurut pantauan dengan ekses negatif yang ditimbulkan, alangkah baiknya jika pemerintah juga mencari solusi lain. Seperti memperkuat sistem filter terhadap konten-konten negatif. Selama ini, pemerintah seperti kewalahan menangkalnya. Jika sistem filter kuat, tak perlu lagi pemerintah melakukan pembatasan atau bahkan menutup akses ke media sosial.
Bersamaan dengan itu, penyedia layanan media sosial tak bisa lepas tangan. Melihat layanan kerap disalahgunakan, seharusnya mereka juga menyiapkan sistem penyaringan yang lebih kukuh.
Comments